Aku tau bahwa manusia semakin lama akan menemukan kepastian
dalam hidupnya. Awalnya aku mengira bahwa kepastianmu sama sepertiku. Namun
kenyataannya keluarga kecilmu jauh lebih kau butuhkan daripada aku. Sebentar
lagi aku juga memiliki keluarga kecil sepertimu. Menyandang nama belakang calon
suamiku dan tentunya bukan nama belakang kamu. Ya, bukan nama belakang kamu karena
sudah ada wanita pemilik nama belakangmu beserta anak lucumu yang menggemaskan
itu.
Perih ini masih terasa. Sampai kapanpun masih terasa
karena aku menyakini cuma kamu satu-satunya pria yang mampu menyembuhkannya. Walaupun
kemungkinan itu sangatlah tipis bahkan mustahil.
Aku tau semua tentangmu wahai pria penyuka warna hitam. Pemilik
senyum manis dengan lesung pipi peneduh hatiku. Pemilik sikap kebapakan dengan
dandanan bersahaja, berbicara seperlunya tapi kadang berubah cerewet saat aku
dekat-dekat dengan pria lain. Darimu aku kenal kata “ayah” dan darimu juga aku
kenal kata “kekasih gelap.”
Entah kenapa sampai cincin ini melingkar di jari manisku, aku masih memikirkanmu. Aku tak peduli dengan perasaan calon
suamiku, sama seperti kamu yang tak mempedulikan perasaan istrimu kala itu. Kala
kita berdua memadu cerita yang terlalu rendah bila dikatakan cinta tapi terlalu
tinggi bila dikatakan saudara. Kau memanggilku adek dan aku memanggilmu kakak laksana
saudara. Kau khawatirkan aku laksana kekasih.
Dulu hampir setiap hari kamu bertamu ke kontrakanku. Tamu
spesial yang kedatangannya selalu ku sambut dengan senyum termanisku. Kau
begitu akrab dengan penghuni kontrakanku. Meski sekarang kontrakan itu sudah
bukan tempatku tinggal, kadang aku masih suka melewatinya dan membayangkan
mobil hitam masih terparkir tepat di depan pintu kontrakan itu. Terparkir lama
sekali karena pemiliknya sedang tidur di kamarku. Aku tidak berani
menyentuhnya, aku hanya berani memperhatikan setiap detail pahatan Sang Maha
Pencipta jiwa dan raganya yang begitu membuatku kagum.
Sebentar lagi kita wisuda dan itu tandanya masa-masa di kampus
bersamamu tak bisa ku ulang kembali. Seperti saat kamu memegang payung dan aku
memeluk lengan kekarmu, kita berjalan bermesraan membelah hujan lalu berpencar
saat sampai di pintu kelas. Selebihnya kita berpura-pura asing. Kadang aku
mengeluh tentang masa pendamaian logika dan hatiku yang begitu payah tentangmu.
Aku selalu ingat, saat kuliah malam kau antar aku pulang.
Luar kota tak menjadi penghalang untukmu memastikanku selamat sampai tujuan
karena kau sering cemaskan aku saat menunggu bis malam-malam. Masa itu begitu
indah. Saat kau duduk di bangku belakang dan aku memotretmu diam-diam dari
depan. Kau tak suka berfoto, kau tak suka pakai baju selain warna hitam, kau
tak suka terikat dan kau tak suka bercerita tentang istrimu yang beruntung itu.
Bisa mengikat pria yang tidak suka keterikatan sepertimu. Dia selalu menjadi
alasanmu untuk pulang, kan?
Kini aku telah berani memutuskan meski aku belum yakin
aku bisa menjalaninya. Menjadi seorang istri dari pria yang sama sekali
kehadirannya tidak aku harapkan. Aku akan berpura-pura bahagia dan aku berusaha
membuat ibuku bahagia telah memiliki anak yang patuh pada perjodohannya. Do’akan
aku ya, kak! Seperti adek yang selalu mendo’akan kebahagiaan kakak.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar